Home

Senin, 14 Desember 2015

Cerpen

Dear Mama

Dear Mama
Selamat pagi, Ma. Apa kabar?
Selamat ulang tahun ke 38 Ma. Bahagia lah selalu, sehatlah terus, semoga kami selalu menyenangkan mama.

Tertanda, Putri sulungmu yang merindukanmu.

            Hari ini, 28 November 2013. Mama berulang tahun yang ke 38. Artinya, 18 tahun sudah Mama menghabiskan pikiran, waktu, dan berbagi kasih sayangnya yang tak kenal lelah padaku. Mama memang menikah muda dengan Papa. Seperti lazimnya pernikahan zaman dahulu, Papa dan Mama pun tidak luput dari perjodohan. Tapi cerita Mama bukanlah seperti cerita Siti Nurbaya yang menikah karena hutang yang kemudian dijodohkan dengan kakek-kakek. Pada zamannya, Papa adalah laki-laki tampan, muda, aktif, dan selalu ramah kepada orang. Aku tahu karena aku melihat foto Papa semasa muda. Padahal usia Papa dan Mama terpaut 9 tahun. Hingga saat ini, aku berusia 18 tahun, Papa dan Mama masih menjadi sayapku.
            Saat ini usiaku 18 tahun. Aku kuliah di satu-satunya Universitas Negeri di Provinsi-ku. Sekarang aku sudah memasuki semester lima. Dan aku merasa aku belum memberikan apa-apa yang membuat Papa dan Mama bangga. IP-ku tidaklah menakjubkan, tetapi tidak terlalu buruk. Tetapi tetap saja aku merasa tidak sebanding dengan yang telah dilakukan Papa dan Mama.

            Selama aku kuliah, Papa amatlah sering menjengukku. Papa bukanlah orang yang benar-benar melepaskan Putrinya ketika kuliah. Papa hampir setiap bulan pasti berkunjung ke tempatku. Dan Mama, melepaskan papa menempuh jarak seratus km lebih untuk menjengukku. Aku tahu betul, mama bukanlah orang yang berani. Ketika Papa pergi, Mama pasti tidak tidur semalaman hingga Papa pulang.
***

Dear Mama,
Mengapa banyak sekali orang-orang yang munafik disekitarku? Mengapa mereka tidak seperti mama, berkata A jika itu memang A?

            Ketika aku di bangku Sekolah Dasar, aku selalu mendapat rangking 1. Mungkin hanya bagian ini dari hidupku yang bisa membuat Papa dan Mama bangga. Waktu itu, aku adalah murid pindahan. Aku pindah ke Sekolah Dasar tersebut karena Papa juga pindah tugas. Pada semester 1, awal aku pindah, aku mendapat rangking dua. Kata Papa tidak apa-apa. Mama juga tidak kecewa. Pasalnya, sekolah ku terdahulu berada di desa terpencil yang bahkan listrik saja tidak ada dan satu-satunya transportasi untuk ketempat umum seperti pasar adalah perahu. Di desa itu, jumlah siswi dikelasku hanya 6 orang termasuk , dan aku adalah siswi paling cantik dikelas itu. Lalu aku pindah ke sekolah di perkotaan kabupaten dengan jumlah siswa dan siswi di kelasku saat itu 42 orang termasuk aku. Kata Mama, aku hanya perlu menyesuaikan diri.
            Selama kelas 5 SD, aku pernah tidak masuk sekolah selama beberapa hari dikarenakan sakit. Lalu ketika aku masuk, aku mendengarkan cerita yang tidak seharusnya didengan anak seusiaku
            “Tau kah kau? Selama kau sakit, duhai senang sekali dia. Katanya mengapa kau tidak sakit saja selamanya biar kau tidak juara kelas lagi” dan aku ingat betul siapa yang mengatakan itu kepadaku. Dan aku tahu siapa yang dimaksud. Anak kecil polos? Bulshit. Lihatlah dia, betapa manisnya dia didepanku, seolah aku adalah saudarinya –bukan hanya sekedar teman sekelas. Tapi dibelakangku, ia berharap aku sakit. Teman? Entahlah.
            “Kenapa kau hanya menonton? Kenapa tidak ikut bermain?” kata salah seorang guru-yang juga nenekku- di sekolahku berbicara padaku, di suatu siang.
            “Iya Bu. Padahal tadi sudah diajak main. Tapi dia nggak mau, Bu” seseorang disebelahku berceletuk. Aku masih ingat betul siapa yang berkata seperti itu. Bahkan aku ingat dimana aku berdiri ketika kejadian tersebut. Tetapi, demi Tuhan dia tidak pernah mengajakku bermain. Pandai sekali anak kecil itu mengambil hati. Munafik.
            Bahkan ketika aku kuliahpun, masih banyak orang-orang munafik disekitarku. Berkata bijak beradasarkan kitab suci, tetapi tidak lama kemudian ia hamil sebelum janji suci. Lihatlah Ma, tolong ajarkan mereka menjadi seperti Mama.
***

Dear Mama,
Hai Ma. Aku sekarang punya seseorang yang bisa aku andalkan. Jadi Mama berhentilah mengkhawatirkanku, ada dia yang membantuku. Ma’af, belum bisa cerita pada Mama.

            Hatiku sedang berbunga-bunga. Layaknya orang sedang jatuh cinta, makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Tapi aku belum menceritakan kepada Mama. Aku tidak pernah menceritakan perihal apapun kepada Mama kecuali tentang uang jajanku yang sudah habis. Aku juga tidak bercerita kepada Papa. Aku adalah orang yang tidak percaya kepada siapapun termasuk kepada kedua orang tuaku. Aku benci dikhianati, aku takut dikhianati. Maka dari pada itu, ketika ada masalah, aku cenderung memendam sendiri, mencari solusi sendiri, atau membiarkan ia tinggal di memori. Tidak ada yang tahu betul seperti apa aku, termasuk Mama. Menurutku, menceritakan masalah kepada orang lain bukan lah solusi. Untuk apa membiarkan orang lain tahu masalah pribadiku? Mama bahkan tidak tahu apa warna kesukaanku, pakaian seperi apa yang aku suka. Bukan karena Mama mengabaikanku. Mama selalu bertanya, tetapi aku selalu menjawab “semuanya baik-baik saja”. Ma’af, tidak percaya kepada Mama.
Dear Mama,
Ma’af Ma, IP-ku setiap semester hanya sebatas ini.
Aku sudah berusaha Ma, tetapi hanya ini yang kemampuanku. Tau kah Mama? Ketika waktunya UAS, ketika aku harus membaca dan mengingat ratusan kosakata medis setiap semesternya, kepalaku amat sakit Ma. Rasanya ada beban ratusan kilogram diatas kepalaku. Bahkan aku menangis karena amat sakit. Tetapi rasa sakit itu tidak hilang. Aku tau bagaimana menghilangkan nyeri, ada tekhnik relaksasi dan distraksi. Aku sudah mencobanya Ma. Menarik nafas dalam, belajar sambil menonton TV, belajar sambil mendengarkan musik, belajar sambil makan, belajar 5 menit kemudian bermain games 10 menit, tetap saja nyeri itu ada. Rasanya bukan seperti sakit kepala pada umumnya, atau seperti rasa pusing. Bukan, Ma. Rasanya seperti ingin mati. Ma’af Ma, tidak menceritakan ini kepada Mama. Aku tidak ingin membuat mama khawatir. Aku tidak ingin menambah beban Mama. Karena aku tidak percaya Mama.
***
Dear Mama,
Mengapa aku merasa semua orang menakutkan, Ma?

            Sekarang aku semester tujuh. Sudah mulai sibuk dengan skripsi. Aku sudah tahu siapa pembimbing skripsi ku. Hampir semua teman-temanku sudah menemui pembimbingnya. Hanya aku dan empat orang lagi yang belum –kemudian kami memutuskan untuk membentuk suatu perkumpulan dan berjanji untuk tidak mengkhianati dengan cara menemui pembimbing terlebih dahulu. Aku belum tahu judul apa yang sebaiknya aku ajukan, judul yang kira-kira tidak menunda waktuku wisuda. Aku mencari jurnal-jurnal, membaca buku-buku kesehatan, membaca skripsi-skripsi terdahulu yang ada di perpustakaan kampusku. Hingga aku menemukan banyak judul.
            Tetapi sebenarnya bukan lah ketidaksiapan materi, melainkan ketidaksiapan mentalku untuk menemui dosen pembimbingku. Sejak kecil, aku takut menemui orang-orang baru, aku takut menmui orang-orang yang berkumpul. Aku takut menemui orang-orang yang lebih tua, lebih tinggi jabatannya, lebih pintar, lebih cantik, lebih apapun dariku. Jika dalam ilmu kejiwaan, sungguh ini bukan Harga Diri Rendah. Aku bersyukur dengan apa adanya aku. Tapi entah mengapa aku takut.
            Waktu ku kecil, jika aku hendak berankat kesekolah tetapi kemudian aku melihat sekelompok orang-orang, maka aku akan mencari jalan memutar atau menunggu hingga keramaian itu bubar. Atau misalkan ketika aku hendak membeli sesuatu tetapi tempat itu sedag ramai pembeli, maka aku akan menahan lapar karena tidak jadi membeli. Karena ketakutan aku ini, aku merasa tidak enak hati dengan temanku. Aku berkata ingin datang, lalu kemudian ia menuliskan namaku sebagai panitia, tetapi ketika hari pelantikan aku tidak datang.
            Mendengar banyaknya cerita teman-teman yang sudah memulai BAB I skripsi, aku dengan sekuat hati memberanikan diri untuk menemui dosen pembimbingku. Aku menunggu di depan ruang dosen dari jam 07.30 pagi. Setengah jam kemudian beliau datang. Ketika melihat wajahnya, kecemasanku meningkat. Ektremitas terasa lemah, detak jantung meningkat, suhu tubuhku meningkat, dan tanganku gemetar. Aku masih duduk di bangku tunggu hingga beliau keluar karena harus mengajar. Aku selalu seperti itu ketika hendak bertemu orang baru.
            Pernah juga, ketika hendak bertemu teman lama, aku menjadi gugup, suaraku bergetar, wajahku pucat, tingkahku aneh, maka tak heran jika temanku mengira jiaklau aku jatuh cinta padanya. Ketahuilah, memang selalu seperti ini.
            Bahkan pernah, ketika teman-teman Papa menjenguk Papa yang sedang sakit dan hanya ada aku dan Papa dirumah, aku kemudian melarikan diri dan bersembunyi dibelakang rumah. Wajar jika kemudian Papa memarahiku. Ma’af Pa, aku takut mereka.
***

Dear Mama,
Hai Ma. Sebentar lagi hari Ibu. Mama adalah Ibu yang sangat baik. Benar sekali kata pepatah itu, Ma, “Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah”. Apa yang sudah Mama lakukan untukku sungguh tidak mampu ku hitung. Sedangkan aku, lebih banyak membuat Mama kesal daripada membuat Mama senang.
Ma, dengan segala kekuranganku, aku berjanji berusaha menyelesaikan skripsi tepat waktu. Karena setidaknya, toga wisudaku ini mampu sedikit membalas segalanya yang telah Mama berikan kepadaku.
Ma, dua tahun terakhir ini aku mudah sekali lupa. Aku lupa apa yang aku pelajari malam sebelumnya, hingga aku tidak bisa menjawab dengan baik saat ujian. Aku lupa menaruh kunci motor, aku lupa mematikan lampu, aku lupa menutup pintu, aku lupa kalau aku sedang charge laptopku, aku lupa kemarin aku pakai baju apa, aku lupa kalau aku sudah melewati puluhan kali suatu jalan, aku lupa kalau aku sedang mengisi bak mandi, aku lupa kalau aku sedang mencuci sehingga tidak mendengar mesin cuci berhenti berputar, aku lupa kalau aku belum makan, aku lupa kemana tujuanku ketika keluar, aku lupa tentang penyakit-penyakit yang seharusnya aku ingat karena aku adalah perawat.
Karena itu Ma, aku takut jika suatu hari nanti aku lupa siapa aku, aku takut pasien akan overdosis karena aku lupa kalau aku sudah memberikan obat, aku takut suatu hari nanti aku lupa jika aku sedang merebus air hingga menyebabkan rumah kebakaran. Tetapi Ma, aku paling takut jika suatu hari nanti aku lupa siapa nama Mama, aku takut aku lupa siapa nama Papa, aku tidak mau lupa kebaikan Mama, aku tidak mau aku lupa akan kasih sayang Mama, aku tidak mau aku lupa betapa bahagianya aku menjadi anak Mama, aku tidak ingin aku bahkan lupa apa itu kata ‘Mama’.
Ma, aku pernah mendengar tentang alzeimer. Suatu penyakit demensia. Semoga ini bukan gejala Alzeimer ya Ma. Karena aku tidak ingin lupa betapa aku mencintai Mama.
Ma, aku minta ma’af karena hingga detik ini aku masih tidak percaya Mama. Aku minta ma’af karena tidak menceritakan semua permasalahanku kepada Mama.

THE END



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar