Dear Mama
Dear Mama
Selamat pagi, Ma. Apa kabar?
Selamat ulang tahun ke 38 Ma.
Bahagia lah selalu, sehatlah terus, semoga kami selalu menyenangkan mama.
Tertanda, Putri
sulungmu yang merindukanmu.
Hari ini, 28 November 2013. Mama berulang
tahun yang ke 38. Artinya, 18 tahun sudah Mama menghabiskan pikiran, waktu, dan
berbagi kasih sayangnya yang tak kenal lelah padaku. Mama memang menikah muda
dengan Papa. Seperti lazimnya pernikahan zaman dahulu, Papa dan Mama pun tidak
luput dari perjodohan. Tapi cerita Mama bukanlah seperti cerita Siti Nurbaya
yang menikah karena hutang yang kemudian dijodohkan dengan kakek-kakek. Pada
zamannya, Papa adalah laki-laki tampan, muda, aktif, dan selalu ramah kepada
orang. Aku tahu karena aku melihat foto Papa semasa muda. Padahal usia Papa dan
Mama terpaut 9 tahun. Hingga saat ini, aku berusia 18 tahun, Papa dan Mama
masih menjadi sayapku.
Saat ini usiaku 18 tahun. Aku kuliah
di satu-satunya Universitas Negeri di Provinsi-ku. Sekarang aku sudah memasuki
semester lima. Dan aku merasa aku belum memberikan apa-apa yang membuat Papa
dan Mama bangga. IP-ku tidaklah menakjubkan, tetapi tidak terlalu buruk. Tetapi
tetap saja aku merasa tidak sebanding dengan yang telah dilakukan Papa dan
Mama.
Selama aku kuliah, Papa amatlah sering
menjengukku. Papa bukanlah orang yang benar-benar melepaskan Putrinya ketika
kuliah. Papa hampir setiap bulan pasti berkunjung ke tempatku. Dan Mama,
melepaskan papa menempuh jarak seratus km lebih untuk menjengukku. Aku tahu
betul, mama bukanlah orang yang berani. Ketika Papa pergi, Mama pasti tidak
tidur semalaman hingga Papa pulang.
***
Dear Mama,
Mengapa banyak
sekali orang-orang yang munafik disekitarku? Mengapa mereka tidak seperti mama,
berkata A jika itu memang A?
Ketika aku di bangku Sekolah Dasar,
aku selalu mendapat rangking 1. Mungkin hanya bagian ini dari hidupku yang bisa
membuat Papa dan Mama bangga. Waktu itu, aku adalah murid pindahan. Aku pindah
ke Sekolah Dasar tersebut karena Papa juga pindah tugas. Pada semester 1, awal
aku pindah, aku mendapat rangking dua. Kata Papa tidak apa-apa. Mama juga tidak
kecewa. Pasalnya, sekolah ku terdahulu berada di desa terpencil yang bahkan
listrik saja tidak ada dan satu-satunya transportasi untuk ketempat umum
seperti pasar adalah perahu. Di desa itu, jumlah siswi dikelasku hanya 6 orang
termasuk , dan aku adalah siswi paling cantik dikelas itu. Lalu aku pindah ke
sekolah di perkotaan kabupaten dengan jumlah siswa dan siswi di kelasku saat
itu 42 orang termasuk aku. Kata Mama, aku hanya perlu menyesuaikan diri.
Selama kelas 5 SD, aku pernah tidak
masuk sekolah selama beberapa hari dikarenakan sakit. Lalu ketika aku masuk,
aku mendengarkan cerita yang tidak seharusnya didengan anak seusiaku
“Tau kah kau? Selama kau sakit,
duhai senang sekali dia. Katanya mengapa kau tidak sakit saja selamanya biar
kau tidak juara kelas lagi” dan aku ingat betul siapa yang mengatakan itu
kepadaku. Dan aku tahu siapa yang dimaksud. Anak kecil polos? Bulshit. Lihatlah
dia, betapa manisnya dia didepanku, seolah aku adalah saudarinya –bukan hanya
sekedar teman sekelas. Tapi dibelakangku, ia berharap aku sakit. Teman?
Entahlah.
“Kenapa kau hanya menonton? Kenapa
tidak ikut bermain?” kata salah seorang guru-yang juga nenekku- di sekolahku
berbicara padaku, di suatu siang.
“Iya Bu. Padahal tadi sudah diajak
main. Tapi dia nggak mau, Bu” seseorang disebelahku berceletuk. Aku masih ingat
betul siapa yang berkata seperti itu. Bahkan aku ingat dimana aku berdiri
ketika kejadian tersebut. Tetapi, demi Tuhan dia tidak pernah mengajakku
bermain. Pandai sekali anak kecil itu mengambil hati. Munafik.
Bahkan ketika aku kuliahpun, masih
banyak orang-orang munafik disekitarku. Berkata bijak beradasarkan kitab suci,
tetapi tidak lama kemudian ia hamil sebelum janji suci. Lihatlah Ma, tolong
ajarkan mereka menjadi seperti Mama.
***
Dear Mama,
Hai Ma. Aku
sekarang punya seseorang yang bisa aku andalkan. Jadi Mama berhentilah
mengkhawatirkanku, ada dia yang membantuku. Ma’af, belum bisa cerita pada Mama.
Hatiku sedang berbunga-bunga.
Layaknya orang sedang jatuh cinta, makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Tapi
aku belum menceritakan kepada Mama. Aku tidak pernah menceritakan perihal
apapun kepada Mama kecuali tentang uang jajanku yang sudah habis. Aku juga
tidak bercerita kepada Papa. Aku adalah orang yang tidak percaya kepada
siapapun termasuk kepada kedua orang tuaku. Aku benci dikhianati, aku takut
dikhianati. Maka dari pada itu, ketika ada masalah, aku cenderung memendam
sendiri, mencari solusi sendiri, atau membiarkan ia tinggal di memori. Tidak
ada yang tahu betul seperti apa aku, termasuk Mama. Menurutku, menceritakan
masalah kepada orang lain bukan lah solusi. Untuk apa membiarkan orang lain
tahu masalah pribadiku? Mama bahkan tidak tahu apa warna kesukaanku, pakaian
seperi apa yang aku suka. Bukan karena Mama mengabaikanku. Mama selalu
bertanya, tetapi aku selalu menjawab “semuanya baik-baik saja”. Ma’af, tidak
percaya kepada Mama.
Dear Mama,
Ma’af Ma, IP-ku
setiap semester hanya sebatas ini.
Aku sudah berusaha
Ma, tetapi hanya ini yang kemampuanku. Tau kah Mama? Ketika waktunya UAS,
ketika aku harus membaca dan mengingat ratusan kosakata medis setiap
semesternya, kepalaku amat sakit Ma. Rasanya ada beban ratusan kilogram diatas
kepalaku. Bahkan aku menangis karena amat sakit. Tetapi rasa sakit itu tidak
hilang. Aku tau bagaimana menghilangkan nyeri, ada tekhnik relaksasi dan
distraksi. Aku sudah mencobanya Ma. Menarik nafas dalam, belajar sambil
menonton TV, belajar sambil mendengarkan musik, belajar sambil makan, belajar 5
menit kemudian bermain games 10 menit, tetap saja nyeri itu ada. Rasanya bukan
seperti sakit kepala pada umumnya, atau seperti rasa pusing. Bukan, Ma. Rasanya
seperti ingin mati. Ma’af Ma, tidak menceritakan ini kepada Mama. Aku tidak
ingin membuat mama khawatir. Aku tidak ingin menambah beban Mama. Karena aku
tidak percaya Mama.
***
Dear Mama,
Mengapa aku merasa semua orang
menakutkan, Ma?
Sekarang aku semester tujuh. Sudah
mulai sibuk dengan skripsi. Aku sudah tahu siapa pembimbing skripsi ku. Hampir
semua teman-temanku sudah menemui pembimbingnya. Hanya aku dan empat orang lagi
yang belum –kemudian kami memutuskan untuk membentuk suatu perkumpulan dan
berjanji untuk tidak mengkhianati dengan cara menemui pembimbing terlebih
dahulu. Aku belum tahu judul apa yang sebaiknya aku ajukan, judul yang
kira-kira tidak menunda waktuku wisuda. Aku mencari jurnal-jurnal, membaca
buku-buku kesehatan, membaca skripsi-skripsi terdahulu yang ada di perpustakaan
kampusku. Hingga aku menemukan banyak judul.
Tetapi sebenarnya bukan lah
ketidaksiapan materi, melainkan ketidaksiapan mentalku untuk menemui dosen
pembimbingku. Sejak kecil, aku takut menemui orang-orang baru, aku takut menmui
orang-orang yang berkumpul. Aku takut menemui orang-orang yang lebih tua, lebih
tinggi jabatannya, lebih pintar, lebih cantik, lebih apapun dariku. Jika dalam
ilmu kejiwaan, sungguh ini bukan Harga
Diri Rendah. Aku bersyukur dengan apa adanya aku. Tapi entah mengapa aku
takut.
Waktu ku kecil, jika aku hendak
berankat kesekolah tetapi kemudian aku melihat sekelompok orang-orang, maka aku
akan mencari jalan memutar atau menunggu hingga keramaian itu bubar. Atau
misalkan ketika aku hendak membeli sesuatu tetapi tempat itu sedag ramai
pembeli, maka aku akan menahan lapar karena tidak jadi membeli. Karena
ketakutan aku ini, aku merasa tidak enak hati dengan temanku. Aku berkata ingin
datang, lalu kemudian ia menuliskan namaku sebagai panitia, tetapi ketika hari
pelantikan aku tidak datang.
Mendengar banyaknya cerita
teman-teman yang sudah memulai BAB I skripsi, aku dengan sekuat hati
memberanikan diri untuk menemui dosen pembimbingku. Aku menunggu di depan ruang
dosen dari jam 07.30 pagi. Setengah jam kemudian beliau datang. Ketika melihat
wajahnya, kecemasanku meningkat. Ektremitas
terasa lemah, detak jantung meningkat, suhu tubuhku meningkat, dan tanganku
gemetar. Aku masih duduk di bangku tunggu hingga beliau keluar karena harus
mengajar. Aku selalu seperti itu ketika hendak bertemu orang baru.
Pernah juga, ketika hendak bertemu
teman lama, aku menjadi gugup, suaraku bergetar, wajahku pucat, tingkahku aneh,
maka tak heran jika temanku mengira jiaklau aku jatuh cinta padanya.
Ketahuilah, memang selalu seperti ini.
Bahkan pernah, ketika teman-teman
Papa menjenguk Papa yang sedang sakit dan hanya ada aku dan Papa dirumah, aku
kemudian melarikan diri dan bersembunyi dibelakang rumah. Wajar jika kemudian
Papa memarahiku. Ma’af Pa, aku takut mereka.
***
Dear Mama,
Hai Ma. Sebentar
lagi hari Ibu. Mama adalah Ibu yang sangat baik. Benar sekali kata pepatah itu,
Ma, “Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah”. Apa yang sudah Mama
lakukan untukku sungguh tidak mampu ku hitung. Sedangkan aku, lebih banyak
membuat Mama kesal daripada membuat Mama senang.
Ma, dengan segala
kekuranganku, aku berjanji berusaha menyelesaikan skripsi tepat waktu. Karena
setidaknya, toga wisudaku ini mampu sedikit membalas segalanya yang telah Mama
berikan kepadaku.
Ma, dua tahun
terakhir ini aku mudah sekali lupa. Aku lupa apa yang aku pelajari malam
sebelumnya, hingga aku tidak bisa menjawab dengan baik saat ujian. Aku lupa
menaruh kunci motor, aku lupa mematikan lampu, aku lupa menutup pintu, aku lupa
kalau aku sedang charge laptopku, aku lupa kemarin aku pakai baju apa, aku lupa
kalau aku sudah melewati puluhan kali suatu jalan, aku lupa kalau aku sedang
mengisi bak mandi, aku lupa kalau aku sedang mencuci sehingga tidak mendengar
mesin cuci berhenti berputar, aku lupa kalau aku belum makan, aku lupa kemana
tujuanku ketika keluar, aku lupa tentang penyakit-penyakit yang seharusnya aku
ingat karena aku adalah perawat.
Karena itu Ma, aku
takut jika suatu hari nanti aku lupa siapa aku, aku takut pasien akan overdosis
karena aku lupa kalau aku sudah memberikan obat, aku takut suatu hari nanti aku
lupa jika aku sedang merebus air hingga menyebabkan rumah kebakaran. Tetapi Ma,
aku paling takut jika suatu hari nanti aku lupa siapa nama Mama, aku takut aku
lupa siapa nama Papa, aku tidak mau lupa kebaikan Mama, aku tidak mau aku lupa
akan kasih sayang Mama, aku tidak mau aku lupa betapa bahagianya aku menjadi
anak Mama, aku tidak ingin aku bahkan lupa apa itu kata ‘Mama’.
Ma, aku pernah
mendengar tentang alzeimer. Suatu penyakit demensia. Semoga ini bukan gejala
Alzeimer ya Ma. Karena aku tidak ingin lupa betapa aku mencintai Mama.
Ma, aku minta ma’af
karena hingga detik ini aku masih tidak percaya Mama. Aku minta ma’af karena
tidak menceritakan semua permasalahanku kepada Mama.
THE END
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang
diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar