Pertanyaan-pertanyaan Ayu Untuk Pak Presiden
Pagi ini, matahari menyembunyikan diri. Langit mendung, angin berhembus sepoi-sepoi. Hari ini hari Senin, jalanan pasti macet. Orang-orang pergi dengan tujuannya masing-masing, entah itu karena tuntutan ataupun memang dari hati.
Pagi ini, matahari menyembunyikan diri. Langit mendung, angin berhembus sepoi-sepoi. Hari ini hari Senin, jalanan pasti macet. Orang-orang pergi dengan tujuannya masing-masing, entah itu karena tuntutan ataupun memang dari hati.
Jauh dari kota Jakarta, disudut kota Jambi, terdapat
sebuah desa dengan penduduk seribu lebih. Diantara banyak rumah yang berdiri
dengan berbagai ukuran dan berbagai gaya, terdapat sebuah rumah petak kecil.
Rumah itu punya almarhum Pak Gani.
Rumah itu dihuni oleh istri almarhum Pak Gani, Bu Eni
namanya dan putri sematawayang mereka yang bernama Ayuningtyas. Bu Eni bekerja
dengan menjual makanan untuk sarapan di SD Negeri di desa itu. Bu Eni berjualan
dari pagi hingga pukul 11 siang. Dia lalu pulang untuk bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Siangnya dari jam 1 hingga jam 5 sore Bu Eni bekerja sebagai
buruh pengupas bawang. Tugasnya membersihkan bawang merah dari kulitnya yang
sudah kering.
Ayuningtyas yang dipanggil Ayu adalah siswa kelas dua SD.
Dia bersekolah di sekolah tempat Ibunya berjualan. Ayu ini anak yang periang,
suka ngobrol atau nyanyok kalau kata
orang Jambi. Disekolah, Ayu bukan lah siswa yang
selalu menjadi juara kelas,
masuk 10 besar saja sudah bagus.
Ayu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Bu Eni
seringkali pusing menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya. Dia yang hanya
berijazahkan SMP tentu saja banyak pertanyaan-pertanyaan Ayu yang tidak bisa ia
jawab.
“Buk, kenapa sih bendera kita itu warnanya merah putih?”
“Kenapa sih buk uang harus jadi alat untuk beli-beli, kan
nggak semua orang punya.”
Bahkan pertanyaan yang sulit dijawab dengan bahasa yang
mudah dimengerti pun seringkali ditanyakan Ayu.
“Bu, kenapa sih harus menikah?” untuk anak kecil,
pertanyaan ini sulit dijelaskan oleh orang dewasa.
Kadang-kadang Bu Eni tidak menampik pertanyaan anaknya,
“Sudah, kamu nggak usah banyak tanya. Sekolah saja yang benar, yang baik. Jadi
anak yang baik.” Biasanya Ayu bisa langsung manyun kalau Bu Eni sudah berkata
begitu.
Ketika Bu Eni sedang menyiapkan sarapan untuk anaknya,
Ayu mulai nyanyok. Ayu menyapa Ibunya
dengan pertanyaan pagi ini.
“Buk, Bapaknya teman Ayu ada yang masuk penjara karena
korupsi. Kenapa ya Buk dia korupsi? Ibuk yang pengupas kulit bawang saja bisa
menyekolahkan Ayu. Terus siapa ya Buk yang menyuruh dia korupsi?”
“Pertanyaan kamu itu ya satu-satu. Lagian itu bukan
urusan orang kecil kayak kita. Sudah, makan saja.”
“Pak presiden lihat nggak ya Buk berita ini? Pak Presiden
tau nggak ya itu Bapaknya teman Ayu? Dia bakal korupsi juga nggak Buk ya?” Ayu
mulai menyantap nasi goreng yang hanya berlauk ikan teri dan tempe.
“Hus, pertanyaan kamu ini. Ya mana Ibuk tau Pak Presiden
lihat berita apa nggak. Pak Presiden itu orang baik, pintar, makanya dia jadi
Presiden. Dia nggak mungkinlah korupsi.”
“Tapi kan Buk, yang memilih presiden itu rakyat. Rakyat
cuma kenal lewat Tv. Tau darimana Pak Presiden itu baik dan pintar?”
“Ibuk lebih senang kamu menanyakan tentang pelajaran
sekolahmu, Yu. Sudah, cepat habiskan nasi. Sudah hampir jam 7”
Bu Eni lalu bersiap-siap untuk mengantar Ayu sekaligus
membawa barang dagangannya. Sebenarnya Bu Eni senang putrinya menanyakan
hal-hal seperti itu. Hanya saja, ia tidak mampu menjawabnya. Dia orang biasa,
tidak tahu menahu tentang pejabat-pejabat disana.
***
“Buk, Ayu bosan makan. Ibuk selalu masak tempe. Ya
sesekali ayam dong Buk, biar Ayu pintar kayak pak Presiden”
“Nanti kalau ada uang
Ibuk belikan ya. Sekarang makan aja apa yang ada. Lagian pintar bukan
karena makan ayam, tapi karena belajar. Kalau kamu makan ayam sepuluh kilo juga
tiap harinya kalau kamu nggak belajar yan nggak akan pintar.”
“Ayam mahal ya Buk?” kata Ayu yang akhirnya terpaksa juga
harus makan dengan tempe goreng dan sambal goreng. Bu Eni tidak menjawab
pertanyaan Ayu. Dia tidak mau menjelaskan bahwa dia nggak punya uang.
“Kalau ayam lagi mahal begini, Pak Presiden makan ayam
juga nggak ya Buk?” lagi-lagi Ayu bertanya tentang Pak Presiden.
“Ya mana Ibuk tau. Kan Ibuk bukan koki disana.” Mendengar
jawaban Ibunya, Ayu sontak diam, melanjutkan sarapan. Ayu selalu ingin tahu
tentang Pak Presiden.
Sekolah Dasar Negeri tempat Ayu bersekolah tampak sepi.
Para murid sudah masuk kekelas masing-masing, siap untuk menerima ilmu. Di kelas,
Ayu duduk paling depan. Bukan karena ia ingin menyimak, tetapi kalau duduk
dibelakang banyak nyamuk, begitu kata Ayu.
“Siapa yang pernah membaca surat?” tanya Bu Gurunya Ayu.
Anak-anak tidak ada yang menjawab. Jangan kan untuk membaca, beberapa teman Ayu
ada yang tidak tau huruf. Walaupun tidak lancar membaca, setidaknya Ayu bisa
membaca walaupun mengeja.
“Siapa yang pernah mengirim surat?” tanya Bu Guru.
Salah satu siswa laki-laki yang duduk di paling belakang
mengacungkan tangan. “Saya pernah, Buk.” Semua mata melihat kearah siswa
tersebut. Bu Guru senang sekali mendengar ada yang menjawab.
“Wah bagus ya Adi. Surat untuk siapa yang pernah kamu
tulis?” tanya Bu Guru sumringah.
“Surat izin tidak masuk sekolah Buk” jawab Adi dengan
lantang, bangga sekali ia tidak masuk sekolah. Semua para siswa tertawa
mendengar jawaban Adi. Bu Guru menghela nafas. Dia terlalu berekspektasi.
“Itu sudah bagus. Walaupun itu surat izin, tapi Adi sudah
bisa menulis surat” Bu Guru selalu menghargai murid-muridnya.
“Jika kalian bisa menulis surat, kalian ingin mengirim
surat untuk siapa?” Bu Guru kembali bertanya. Para siswa berebut mengacungkan
tangan.
“Untuk Bapak saya di Jakarta, Buk.” Kata Santi.
“Kalau saya untuk Upin dan Ipin, Buk.” Kelas kembali riuh
dengan tawa anak-anak mendegar jawaban Rio.
“Saya ingin menulis surat untuk Doraemon Buk, agar mau
meminjamkan kantong ajaib” kata Sandi. Kelas kembali riuh.
“Ayu ingin menulis surat untuk Pak Presiden, Buk” kata
Ayu dengan lantang.
“Pak Presiden? Mengapa Ayu ingin menulis surat untuk Pak
Presiden?” tanya Bu Guru heran. Mengapa ada anak muridnya yang ingin menulis
surat untuk Pak Presiden.
“Ayu ingin bertanya banyak pada Pak Presiden, Buk. Ayu
ingin nanya kenapa Pak Presiden mau jadi Presiden? Terus Ayu juga mau bertanya
Pak Presiden pernah nonton Tv apa nggak? Kata Ibuk Ayu, Pak Presiden itu orang
yang sibuk. Ayu juga mau nanya Pak Presiden makan berapa kali sehari? Terus
makannya apa? Soalnya kan Ayu paling sering makan sambal tempe, Buk” kelas
kembali riuh mendengar perkataan Ayu.
Teman-teman
Ayu menganggap itu adalah hal yang lucu, hal-hal yang tidak penting. Tapi
berbeda dengan Bu Guru, ia senang mendengar rasa ingin tahu Ayu. Walaupun Ayu
tidak pandai membaca dan berhitung juga masih sering salah, tapi rasa ingin
taunya terhadap hal-hal lain diluar sana sangat tinggi. Kamu nanti pasti jadi anak yang pintar, Yu. Yang bisa membanggakan
banyak orang, batin Bu Guru.
Beberapa
minggu ini tidak ada hujan. Tanah mengering, pohon banyak yang mati,
sumur-sumur kekeringan. Hutan banyak yang terbakar. Begitu juga dengan kota
Jambi. Sekarang Jambi diselimuti kabut asap. Jarak pandang berkurang,
orang-orang memakai masker setiap bepergian. Udara tidak lagi baik untuk
dinikmati.
“Buk,
kenapa ya banyak asap disini?” tanya Ayu pada Bu Eni.
“Kan
sekarang lagi kemarau, hutan-hutan mudah terbakar. Makanya banyak asap.”
“Di
tempat Pak Presiden juga banyak asap nggak Buk? Pak Presiden tau nggak ya Buk
kalau di Jambi banyak kebakaran hutan? Terus kalau nggak tau, kenapa Pak
Presiden nggak tau, padahalkan kita masuk TV. Ayu lihat kemarin di TV rumah
Santi. Kalau kita disini sesak nafas karena asap, Pak Presiden disana lagi apa
ya Buk?” Ayu kembali bertanya untuk Pak Presiden. Bu Eni menghela nafas.
“Ayu,
Pak Presiden itu orang yang sibuk. Dia mengurus negara, mengurus jutaan
penduduk Indonesia. Kamu salah kalau beranggapan Pak Presiden itu kerjaannya
duduk-duduk saja. Itu namanya sok tahu, memangnya kamu pernah melihat Pak
Presiden selama 1x24 jam?” Bu Eni menjelaskan dengan lembut, agar dimengerti
oleh Ayu.
“Ayu
penasaran sama Pak Presiden Buk. Disaat Adi mengeluh harga sawit murah, Pak
Presiden lagi apa? Apa yang beliau keluhkan? Disaat Ibuk kerja untuk cari uang,
kerja untuk Ayu makan, untuk Ayu sekolah, Pak Presiden lagi apa? Kok Ibuk bisa
susah seperti ini. Terus di Jambi kan juga sering banjir Buk, bukan cuma
Jakarta, terus apa yang Pak Presiden lakukan supaya Jambi tidak banjir. Terus
apa Pak Presiden juga punya rencana untuk masa depan anak-anak seperti Ayu? Ayu
nggak pintar, kaya juga nggak? Gimana mau dapat beasiswa.”
Bu
Eni membelai rambut putri kebanggannya. “Ayu, Pak Presiden itu sibuk sekali. Pak
Presiden itu punya anak buah untuk membantunya. Kalau Ayu merasa Pak Presiden
nggak melakukan apapun, mungkin bukan dari Pak Presidennya. Tapi ada anak buah
Pak Presiden yang malas, yang nggak mau mendengar perintah Pak Presiden. Masa
depan kamu bukan Pak Presiden yang menentukan, tapi kamu sendiri. Kalau kamu
nya mau rajin belajar, insyaAllah kamu bisa dapat gelar sarjana. Tapi ya kalau
kamu hanya mengurus Pak Presiden lagi apa, ya gimana mau pintar. Sekarang,
pertanyaan-pertanyaan untuk Pak Presiden kamu tulis saja. Siapa tau bisa
dikirim untuk Pak Presiden.”
“Ibuk
juga sok tahu. Ibuk tahu dari mana Pak Presiden sibuk? Tayangan Tv kan bisa
saja bohong, Buk.” Gerutu Ayu. Kesal sekali ia sama Ibunya kali ini.
Ayu
langsung berlari ke kamar, mengambil pulpen dan buku. Pulpen dan buku sudah
ditangan, tapi Ayu malah bingung ingin menanyakan apa untuk Pak Presiden.
Setelah menulis-lalu-menghapus berkali-kali, Ayu yakin apa yang ingin
ditulisnya.
Untuk Pak Presiden,
Saya Ayu, dari sebuah desa disudut
kota Jambi. Umur Ayu baru delapan tahun.
Pak Presiden,
Semoga selalu sehat supaya bisa
mengurus Indonesia.
Ayu nggak jadi menanyakan apa-apa. Ma’af
jika Ayu sudah berprasangka buruk pada Pak Presiden.
Ayuningtyas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar