Home

Minggu, 18 Oktober 2015

Cerpen

                                             Pertanyaan-pertanyaan Ayu Untuk Pak Presiden


             Pagi ini, matahari menyembunyikan diri. Langit mendung, angin berhembus sepoi-sepoi. Hari ini hari Senin, jalanan pasti macet. Orang-orang pergi dengan tujuannya masing-masing, entah itu karena tuntutan ataupun memang dari hati.
            Jauh dari kota Jakarta, disudut kota Jambi, terdapat sebuah desa dengan penduduk seribu lebih. Diantara banyak rumah yang berdiri dengan berbagai ukuran dan berbagai gaya, terdapat sebuah rumah petak kecil. Rumah itu punya almarhum Pak Gani.
            Rumah itu dihuni oleh istri almarhum Pak Gani, Bu Eni namanya dan putri sematawayang mereka yang bernama Ayuningtyas. Bu Eni bekerja dengan menjual makanan untuk sarapan di SD Negeri di desa itu. Bu Eni berjualan dari pagi hingga pukul 11 siang. Dia lalu pulang untuk bekerja sebagai ibu rumah tangga. Siangnya dari jam 1 hingga jam 5 sore Bu Eni bekerja sebagai buruh pengupas bawang. Tugasnya membersihkan bawang merah dari kulitnya yang sudah kering.
            Ayuningtyas yang dipanggil Ayu adalah siswa kelas dua SD. Dia bersekolah di sekolah tempat Ibunya berjualan. Ayu ini anak yang periang, suka ngobrol atau nyanyok kalau kata orang Jambi. Disekolah, Ayu bukan lah siswa yang
selalu menjadi juara kelas, masuk 10 besar saja sudah bagus.
            Ayu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Bu Eni seringkali pusing menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya. Dia yang hanya berijazahkan SMP tentu saja banyak pertanyaan-pertanyaan Ayu yang tidak bisa ia jawab.
            “Buk, kenapa sih bendera kita itu warnanya merah putih?”
            “Kenapa sih buk uang harus jadi alat untuk beli-beli, kan nggak semua orang punya.”
            Bahkan pertanyaan yang sulit dijawab dengan bahasa yang mudah dimengerti pun seringkali ditanyakan Ayu.
            “Bu, kenapa sih harus menikah?” untuk anak kecil, pertanyaan ini sulit dijelaskan oleh orang dewasa.
            Kadang-kadang Bu Eni tidak menampik pertanyaan anaknya, “Sudah, kamu nggak usah banyak tanya. Sekolah saja yang benar, yang baik. Jadi anak yang baik.” Biasanya Ayu bisa langsung manyun kalau Bu Eni sudah berkata begitu.
            Ketika Bu Eni sedang menyiapkan sarapan untuk anaknya, Ayu mulai nyanyok. Ayu menyapa Ibunya dengan pertanyaan pagi ini.
            “Buk, Bapaknya teman Ayu ada yang masuk penjara karena korupsi. Kenapa ya Buk dia korupsi? Ibuk yang pengupas kulit bawang saja bisa menyekolahkan Ayu. Terus siapa ya Buk yang menyuruh dia korupsi?”
            “Pertanyaan kamu itu ya satu-satu. Lagian itu bukan urusan orang kecil kayak kita. Sudah, makan saja.”
            “Pak presiden lihat nggak ya Buk berita ini? Pak Presiden tau nggak ya itu Bapaknya teman Ayu? Dia bakal korupsi juga nggak Buk ya?” Ayu mulai menyantap nasi goreng yang hanya berlauk ikan teri dan tempe.
            “Hus, pertanyaan kamu ini. Ya mana Ibuk tau Pak Presiden lihat berita apa nggak. Pak Presiden itu orang baik, pintar, makanya dia jadi Presiden. Dia nggak mungkinlah korupsi.”
            “Tapi kan Buk, yang memilih presiden itu rakyat. Rakyat cuma kenal lewat Tv. Tau darimana Pak Presiden itu baik dan pintar?”
            “Ibuk lebih senang kamu menanyakan tentang pelajaran sekolahmu, Yu. Sudah, cepat habiskan nasi. Sudah hampir jam 7”
            Bu Eni lalu bersiap-siap untuk mengantar Ayu sekaligus membawa barang dagangannya. Sebenarnya Bu Eni senang putrinya menanyakan hal-hal seperti itu. Hanya saja, ia tidak mampu menjawabnya. Dia orang biasa, tidak tahu menahu tentang pejabat-pejabat disana.
***
            “Buk, Ayu bosan makan. Ibuk selalu masak tempe. Ya sesekali ayam dong Buk, biar Ayu pintar kayak pak Presiden”
            “Nanti kalau ada uang  Ibuk belikan ya. Sekarang makan aja apa yang ada. Lagian pintar bukan karena makan ayam, tapi karena belajar. Kalau kamu makan ayam sepuluh kilo juga tiap harinya kalau kamu nggak belajar yan nggak akan pintar.”
            “Ayam mahal ya Buk?” kata Ayu yang akhirnya terpaksa juga harus makan dengan tempe goreng dan sambal goreng. Bu Eni tidak menjawab pertanyaan Ayu. Dia tidak mau menjelaskan bahwa dia nggak punya uang.
            “Kalau ayam lagi mahal begini, Pak Presiden makan ayam juga nggak ya Buk?” lagi-lagi Ayu bertanya tentang Pak Presiden.
            “Ya mana Ibuk tau. Kan Ibuk bukan koki disana.” Mendengar jawaban Ibunya, Ayu sontak diam, melanjutkan sarapan. Ayu selalu ingin tahu tentang Pak Presiden.
            Sekolah Dasar Negeri tempat Ayu bersekolah tampak sepi. Para murid sudah masuk kekelas masing-masing, siap untuk menerima ilmu. Di kelas, Ayu duduk paling depan. Bukan karena ia ingin menyimak, tetapi kalau duduk dibelakang banyak nyamuk, begitu kata Ayu.
            “Siapa yang pernah membaca surat?” tanya Bu Gurunya Ayu. Anak-anak tidak ada yang menjawab. Jangan kan untuk membaca, beberapa teman Ayu ada yang tidak tau huruf. Walaupun tidak lancar membaca, setidaknya Ayu bisa membaca walaupun mengeja.
            “Siapa yang pernah mengirim surat?” tanya Bu Guru.
            Salah satu siswa laki-laki yang duduk di paling belakang mengacungkan tangan. “Saya pernah, Buk.” Semua mata melihat kearah siswa tersebut. Bu Guru senang sekali mendengar ada yang menjawab.
            “Wah bagus ya Adi. Surat untuk siapa yang pernah kamu tulis?” tanya Bu Guru sumringah.
            “Surat izin tidak masuk sekolah Buk” jawab Adi dengan lantang, bangga sekali ia tidak masuk sekolah. Semua para siswa tertawa mendengar jawaban Adi. Bu Guru menghela nafas. Dia terlalu berekspektasi.
            “Itu sudah bagus. Walaupun itu surat izin, tapi Adi sudah bisa menulis surat” Bu Guru selalu menghargai murid-muridnya.
            “Jika kalian bisa menulis surat, kalian ingin mengirim surat untuk siapa?” Bu Guru kembali bertanya. Para siswa berebut mengacungkan tangan.
            “Untuk Bapak saya di Jakarta, Buk.” Kata Santi.
            “Kalau saya untuk Upin dan Ipin, Buk.” Kelas kembali riuh dengan tawa anak-anak mendegar jawaban Rio.
            “Saya ingin menulis surat untuk Doraemon Buk, agar mau meminjamkan kantong ajaib” kata Sandi. Kelas kembali riuh.
            “Ayu ingin menulis surat untuk Pak Presiden, Buk” kata Ayu dengan lantang.
            “Pak Presiden? Mengapa Ayu ingin menulis surat untuk Pak Presiden?” tanya Bu Guru heran. Mengapa ada anak muridnya yang ingin menulis surat untuk Pak Presiden.
            “Ayu ingin bertanya banyak pada Pak Presiden, Buk. Ayu ingin nanya kenapa Pak Presiden mau jadi Presiden? Terus Ayu juga mau bertanya Pak Presiden pernah nonton Tv apa nggak? Kata Ibuk Ayu, Pak Presiden itu orang yang sibuk. Ayu juga mau nanya Pak Presiden makan berapa kali sehari? Terus makannya apa? Soalnya kan Ayu paling sering makan sambal tempe, Buk” kelas kembali riuh mendengar perkataan Ayu.
Teman-teman Ayu menganggap itu adalah hal yang lucu, hal-hal yang tidak penting. Tapi berbeda dengan Bu Guru, ia senang mendengar rasa ingin tahu Ayu. Walaupun Ayu tidak pandai membaca dan berhitung juga masih sering salah, tapi rasa ingin taunya terhadap hal-hal lain diluar sana sangat tinggi. Kamu nanti pasti jadi anak yang pintar, Yu. Yang bisa membanggakan banyak orang, batin Bu Guru.
Beberapa minggu ini tidak ada hujan. Tanah mengering, pohon banyak yang mati, sumur-sumur kekeringan. Hutan banyak yang terbakar. Begitu juga dengan kota Jambi. Sekarang Jambi diselimuti kabut asap. Jarak pandang berkurang, orang-orang memakai masker setiap bepergian. Udara tidak lagi baik untuk dinikmati.
“Buk, kenapa ya banyak asap disini?” tanya Ayu pada Bu Eni.
“Kan sekarang lagi kemarau, hutan-hutan mudah terbakar. Makanya banyak asap.”
“Di tempat Pak Presiden juga banyak asap nggak Buk? Pak Presiden tau nggak ya Buk kalau di Jambi banyak kebakaran hutan? Terus kalau nggak tau, kenapa Pak Presiden nggak tau, padahalkan kita masuk TV. Ayu lihat kemarin di TV rumah Santi. Kalau kita disini sesak nafas karena asap, Pak Presiden disana lagi apa ya Buk?” Ayu kembali bertanya untuk Pak Presiden. Bu Eni menghela nafas.
“Ayu, Pak Presiden itu orang yang sibuk. Dia mengurus negara, mengurus jutaan penduduk Indonesia. Kamu salah kalau beranggapan Pak Presiden itu kerjaannya duduk-duduk saja. Itu namanya sok tahu, memangnya kamu pernah melihat Pak Presiden selama 1x24 jam?” Bu Eni menjelaskan dengan lembut, agar dimengerti oleh Ayu.
“Ayu penasaran sama Pak Presiden Buk. Disaat Adi mengeluh harga sawit murah, Pak Presiden lagi apa? Apa yang beliau keluhkan? Disaat Ibuk kerja untuk cari uang, kerja untuk Ayu makan, untuk Ayu sekolah, Pak Presiden lagi apa? Kok Ibuk bisa susah seperti ini. Terus di Jambi kan juga sering banjir Buk, bukan cuma Jakarta, terus apa yang Pak Presiden lakukan supaya Jambi tidak banjir. Terus apa Pak Presiden juga punya rencana untuk masa depan anak-anak seperti Ayu? Ayu nggak pintar, kaya juga nggak? Gimana mau dapat beasiswa.”
Bu Eni membelai rambut putri kebanggannya. “Ayu, Pak Presiden itu sibuk sekali. Pak Presiden itu punya anak buah untuk membantunya. Kalau Ayu merasa Pak Presiden nggak melakukan apapun, mungkin bukan dari Pak Presidennya. Tapi ada anak buah Pak Presiden yang malas, yang nggak mau mendengar perintah Pak Presiden. Masa depan kamu bukan Pak Presiden yang menentukan, tapi kamu sendiri. Kalau kamu nya mau rajin belajar, insyaAllah kamu bisa dapat gelar sarjana. Tapi ya kalau kamu hanya mengurus Pak Presiden lagi apa, ya gimana mau pintar. Sekarang, pertanyaan-pertanyaan untuk Pak Presiden kamu tulis saja. Siapa tau bisa dikirim untuk Pak Presiden.”
“Ibuk juga sok tahu. Ibuk tahu dari mana Pak Presiden sibuk? Tayangan Tv kan bisa saja bohong, Buk.” Gerutu Ayu. Kesal sekali ia sama Ibunya kali ini.
Ayu langsung berlari ke kamar, mengambil pulpen dan buku. Pulpen dan buku sudah ditangan, tapi Ayu malah bingung ingin menanyakan apa untuk Pak Presiden. Setelah menulis-lalu-menghapus berkali-kali, Ayu yakin apa yang ingin ditulisnya.
Untuk Pak Presiden,
Saya Ayu, dari sebuah desa disudut kota Jambi. Umur Ayu baru delapan tahun.
Pak Presiden,
Semoga selalu sehat supaya bisa mengurus Indonesia.
Ayu nggak jadi menanyakan apa-apa. Ma’af jika Ayu sudah berprasangka buruk pada Pak Presiden.

Ayuningtyas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar